Kejadian DI Angkot 1

Sebenarnya hari Minggu itu aku tidak memiliki rencana pergi kemana-mana, karena pacarku sedang lembur di kantornya. Namun karena sedang malas di rumah dan baru saja gajian, akhirnya terlintas di pikiranku untuk jalan-jalan ke Bogor. Aku pun mencoba mengajak Ibu dan adik-adikku pergi. “Kayaknya Ibu lagi nggak bisa ikut Teh… Lagi banyak kerjaan di rumah nih…” jawab Ibu beralasan sambil meneruskan mencuci pakaian. Sekarang aku hanya bisa berharap kalau adik-adikku mau diajak pergi ke Bogor. Di luar dugaanku, ternyata jawaban mereka juga mengecewakan. Winnie tidak mau aku ajak pergi karena ingin bermalas-malasan di rumah saja, sedangkan Amar dan Dewi juga sudah ada janji dengan teman-temannya.

Walaupun tidak ada yang bisa menemaniku, aku tetap memutuskan untuk pergi seorang diri saja karena sedang malas menghabiskan waktu di rumah. Apalagi dengan pertimbangan hari masih sangat pagi, sehingga menurut perkiraanku walaupun naik kendaraan umum aku bisa sampai di kota Bogor sebelum makan siang. Sebenarnya aku sangat jarang pergi sendirian seperti ini, karena sudah terbiasa ditemani oleh pacar, teman maupun keluargaku. Setelah selesai mandi dan berpakaian aku pun segera berpamitan kepada Ibu. Aku sengaja tidak bilang ke pacarku kalau aku akan pergi sendirian ke Bogor, karena dia pasti tidak akan mengizinkanku. 

Setelah naik angkot dari rumahku, aku pun sampai di jalan utama untuk menunggu bis yang akan mengantarku ke Bogor. Tidak berapa lama aku berdiri, bis yang aku nantikan pun datang. Sungguh beruntung bis tersebut tidak terlalu penuh, sehingga aku dapat memilih tempat duduk sesuai dengan keinginanku. Walaupun bangku di barisan depan cenderung masih kosong, aku tetap memutuskan untuk mengambil duduk di pojok belakang. Memang sengaja aku mengambil tempat duduk di sana, supaya aku bisa tidur tanpa harus terganggu oleh orang lain. 

Kalau dipikir lagi, mungkin aku nekat melakukan hal ini karena aku sudah sangat suntuk di rumah dan ingin sekali-sekali mencoba hal yang baru. Apalagi aku juga sudah cukup sering pergi ke Bogor bersama keluargaku, jadi aku tidak takut akan tersesat di sana. Namun memang ini adalah pertama kalinya aku bepergian ke Bogor dengan menggunakan kendaraan umum. Setibanya di Bogor, aku langsung memanfaatkan waktu dengan berkeliling kota yang cukup terkenal dengan wisata belanja dan kulinernya. Tujuan pertamaku adalah factory outlet di sepanjang jalan utama. 

Yang namanya berbelanja memang sering membuat orang lupa waktu, tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul dua siang. Aku lalu bersiap untuk mencari makan siang sebelum melanjutkan perjalanan. Hari itu aku memakai pakaian yang terbilang cukup sopan, kaos putih ketat yang aku tutupi dengan jaket dipadukan dengan bawahan celana panjang berwarna abu-abu. Walaupun begitu, tetap saja masih banyak laki-laki iseng yang mencoba untuk menggodaku. 

Namun tentu saja tidak ada satupun yang aku hiraukan. Setelah cukup puas berkeliling kota Bogor sendirian, aku pun berniat untuk pulang ke rumahku di kawasan Cibubur. Kalau tidak salah saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Karena takut kemalaman, dengan tergesa-gesa aku menuju ke jalan utama untuk menyetop angkot yang akan mengantarku ke terminal bis. “Macet banget sih… Udah kayak di Jakarta aja…” aku bergumam melihat banyaknya angkot memenuhi kota Bogor. Karena merasa yakin kalau semua angkot akan melewati terminal, maka tanpa bertanya terlebih dahulu aku pun menaiki salah satu angkot yang sudah hampir terisi penuh dan bersiap untuk jalan. 

Dan benar saja, tidak berapa lama setelah aku duduk, angkot yang kutumpangi ini pun berangkat. Namun setelah sekitar 15 menit perjalanan, aku merasa kalau jalan yang dilewati oleh angkot ini bukanlah jalan yang kukenal. Setelah aku bertanya kepada Ibu yang duduk di sebelahku, baru aku sadar kalau ternyata aku telah salah naik angkot. Dari penjelasan yang diberikan oleh beliau, aku harus berhenti di perempatan selanjutnya untuk kemudian berganti angkot. Namun belum juga sampai di perempatan, Ibu yang baik hati tadi berpamitan padaku karena sudah bersiap-siap ingin turun. Aku pun tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada beliau. “Aduuh… Kok bisa-bisanya aku sampe salah naik angkot sih!?” aku berkata dalam hati menyesali kecerobohanku. 

Selagi aku sedang melihat-lihat jalanan melalui jendela, tiba-tiba angkot berhenti dan dari pintu naiklah seorang pengamen. Aku tidak sempat memperhatikan penampilannya secara seksama, karena aku masih terus berkonsentrasi melihat ke arah jalanan supaya tidak semakin tersesat. Tetapi secara sekilas pengamen tersebut masih muda, dan bertubuh kecil. Aku juga masih ingat kalau dia menyanyi dengan suara yang tidak ada bagus-bagusnya. “Bukannya ngehibur malah bikin tambah pusing aja nih pengamen…!” omelku dalam hati. Untung saja aku pun akhirnya tiba di perempatan yang dimaksud oleh Ibu tadi. Seperti tidak ingin kehilangan waktu, aku segera turun dan membayar ongkos angkot. 

Tetapi karena daerah ini memang belum pernah aku lewati, aku semakin bertambah bingung harus menyetop angkot yang ke arah mana. Mau bertanya juga sudah tidak ada orang di tempatku menunggu. “Bade kamana Teh?” tentu saja aku terkejut karena tiba-tiba saja ada suara laki-laki di belakangku bertanya dengan menggunakan bahasa Sunda. “Emmh… Mau pulang ke rumah…” aku yang memang masih ada keturunan Sunda menjawab seadanya. Sebenarnya aku cukup takut dengan penampilan laki-laki yang bertanya padaku ini, apalagi ditambah suasana sekitar yang sudah semakin gelap. 

Di belakang laki-laki tersebut ada dua orang temannya yang salah satunya ternyata adalah pengamen di dalam angkotku tadi. “Teteh kasasab nya?” tanyanya lagi. “Nggak kok…” jawabku berbohong kali ini dengan tatapan galak berharap laki-laki tersebut tidak akan bertanya apa-apa lagi. Karena takut mereka akan berbuat jahat, aku pun berniat untuk pergi ke seberang jalan. Namun karena masih dalam keadaan takut, ketika hendak menyeberang aku terserempet oleh motor yang langsung kabur tanpa mau bertanggung-jawab terlebih dahulu. Tas dan barang belanjaanku sampai jatuh berserakan ke jalan, namun untung saja saat itu tidak ada kendaraan yang melintas. 

Walaupun lukanya tidak parah, namun celana panjang yang aku gunakan sampai robek di bagian lutut. Setelah beberapa menit aku baru sadar kalau selain lututku yang berdarah, telapak tanganku yang sebelah kiri juga sedikit mengalami luka akibat menahan tubuhku yang jatuh ke aspal. Memang tidak ada bagian dari tangan maupun kakiku yang darahnya keluar dalam jumlah banyak, namun tetap saja aku takut kalau sampai terjadi infeksi. Saat itu aku sudah pasrah saja bila tidak ada orang yang akan menolongku, karena tempatku tertabrak tadi cukup sepi. 

Untung saja ternyata ketiga laki-laki bertampang seram tadi memiliki sifat yang berbeda dengan penampilannya. Tanpa perlu aku meminta tolong, ketiganya berinisiatif untuk melihat keadaanku. Dua orang membantuku hingga sampai ke tempat yang cukup aman, sedangkan seorang lagi mengangkat barang bawaanku. “Aduuuuuh…” aku mulai meringis kesakitan. “Kunaon Teh? Raheut nya? Hoyong diobatin sarua urang?” tanya salah satu dari tiga orang tadi yang berperawakan gemuk dan memakai topi. “I-iya bo-boleh…” aku sudah tidak memikirkan lagi mereka akan berbuat apa terhadapku karena luka ini memang harus segera diobati. 

Tanpa membuang waktu lagi, dengan berhati-hati aku pun digotong oleh mereka lalu dibawa masuk ke dalam gang yang tidak jauh dari tempat tadi, hingga akhirnya aku pun sampai di sebuah rumah kecil dan kumuh. Setibanya di dalam rumah tersebut, aku dibaringkan di atas tikar yang sudah lusuh. Salah seorang dari mereka membawakan aku minum, sedangkan yang lainnya membersihkan lukaku dengan air. Walaupun mereka hanya merawatku dengan peralatan seadanya, namun rasa perih di telapak tangan serta lututku sudah mulai hilang. Merasa kondisiku sudah lebih baik, aku pun bangkit dari posisi tidur hingga sekarang sudah duduk bersila. “Makasih banget yah…” ucapku kepada mereka bertiga yang hanya dijawab oleh anggukan dan senyuman. 

Aku yang merasa berhutang budi karena sudah ditolong oleh mereka, akhirnya memutuskan untuk memperkenalkan diri. Ternyata laki-laki yang pertama kali bertanya padaku bernama Dadan, rambutnya keriting seperti penyanyi Ahmad Albar namun dengan wajah yang jauh lebih seram. Usia Dadan masih 16 tahun. Satu lagi yang bertubuh sedikit gemuk dan memakai topi bernama Eman, dia juga seumuran dengan Dadan. Yang terakhir, si pengamen di dalam angkotku bernama Ujang, umurnya memang paling muda di antara mereka bertiga, yaitu masih 13 tahun. Wajar saja kalau dia memiliki tubuh paling kecil dibanding teman-temannya. Dari obrolan kami berempat, aku bisa mengetahui kalau mereka ternyata adalah anak baik dan sopan namun hanya nasib mereka saja yang membuat ketiganya menjadi anak-anak jalanan. Perasan aneh mulai menjalari tubuhku karena mereka bertiga mengamatiku dengan tatapan lapar. 

Namun lama-lama aku menjadi terbiasa dan sekarang mereka yang menjadi malu sendiri. Melihat tingkah laku ketiga anak jalanan tersebut, justru membuatku ingin terus menggoda mereka. Hitung-hitung sebagai balas jasa mereka yang telah merawatku. Supaya tidak terlihat murahan, aku berpura-pura meringis-ringis minta perhatian ke mereka bertiga walaupun aku sudah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu saja mereka semakin berani memegang lutut dan tanganku, bahkan hingga ke bagian yang tidak terluka. Kadang mereka sedikit berbasa-basi “Peurih bagian nu mananya Teh?” Tetapi sepertinya mereka sudah mulai merasa kalau aku memang sengaja menggoda mereka bertiga. 

Kadang-kadang mereka seperti jual mahal, namun mata mereka masih terus memperhatikan wajah serta tubuhku. Aku pun mulai beraksi dengan membuka jaketku hingga sekarang bagian atas tubuhku hanya tertutup oleh kaos putih yang ketat. Buruknya wajah mereka bertiga yang justru menjadi sensasi tersendiri bagiku. Raut wajah Dadan, Eman dan Ujang sungguh seperti orang yang sudah dikuasai hawa nafsu. Namun mungkin karena mereka masih menghormati aku sebagai perempuan yang lebih tua umurnya, maka mereka tidak ada yang berani untuk bertindak aneh-aneh. 

Melihat mereka masih belum ada yang berinisiatif untuk melakukan hal yang lebih jauh lagi, maka aku pun terus berusaha untuk memancing mereka. “Kalian udah pada punya pacar belum?” aku memulai pertanyaanku. “Urang sarua si Eman enggeus boga Teh…” jawab Dadan. “Kalo kamu Jang?” tanyaku kepada Ujang. “Ujang mah tacan atuh Teh… Kan Ujang masih budak leutik…” jawab Ujang sambil tersenyum polos. “Cakep yah pacar kalian?” lanjutku sambil melihat bergantian ke arah Dadan dan Eman. “Yah henteu lah Teh… Mana meureun urang bisa nyaho awewe geulis…” sahut Dadan dengan logat Sunda yang kental. “Bener Teh… Enggeus bagus masih aya awewe nu hoyong… Hehehehe…” timpal Eman sambil tertawa yang semakin memperlihatkan giginya yang hitam. “Kalo Teteh cakep nggak? ” pancingku. “Teteh mah geulis pisan atuh…!!” jawab mereka bertiga hampir serempak sehingga membuat kami tertawa.

Merasa suasana sudah semakin akrab, aku mendekati Dadan yang sepertinya paling berpengalaman dibandingkan kedua temannya. Kemudian aku menaruh tangan ke bahunya lalu menatap wajahnya yang jauh dari tampan. Aku sadar kalau laki-laki ditatap seperti itu pasti mereka akan menjadi salah tingkah. Sesuai dengan rencanaku, Dadan yang sudah tidak dapat menahan nafsunya langsung melumat bibirku. Mungkin karena ingin melihat reaksiku, pertama-tama Dadan hanya sekedar mencium bibirku saja. 

Namun setelah melihat tidak ada penolakan dariku, lidahnya langsung berusaha masuk ke dalam mulutku. Aku dan Dadan mulai berciuman dengan lebih bergairah. Lidahnya bermain dengan liar di dalam mulutku hingga liur kami menetes-netes di pinggir mulut. Perasaan geli, jijik dan nikmat bercampur menjadi satu bersamaan dengan gejolak birahiku yang mulai naik. Dadan semakin membangkitkan gairahku ketika tangannya meremas-remas payudaraku dari luar. “Emmmmmmhh…” aku mendesah saat tangan kasarnya mulai menyusup ke bagian dalam bajuku. 

Ketika melirik ke arah Eman dan Ujang, mereka hanya diam menyaksikan temannya sedang bermesraan denganku. Namun karena sudah tidak tahan, Eman yang memang sudah lebih dewasa dan mengerti dari Ujang, berpindah duduk ke belakangku. Lalu dia mulai mengelus-elus punggung serta pahaku yang masih tertutup pakaian lengkap. Dikerubuti oleh dua orang seperti itu membuat detak jantungku bertambah kencang serta nafasku semakin memburu. 

Yang satu mencium bibir dan meraba-raba payudaraku dari depan, sedangkan yang satu lagi memegang pahaku dari belakang sambil terkadang menciumi leher mulusku. Terkadang begitu ada kesempatan Eman langsung bergantian dengan Dadan untuk meremas-remas payudaraku. Namun berbeda dengan Dadan yang meraba payudaraku dengan pelan, Eman meremasnya dengan kencang, padahal saat itu masih ada bra-nya sehingga membuatku merasa sedikit kesakitan. “Uuuuh… Pelan-pelan dong…!” aku sempat kesal juga dengan perlakuan Eman. 

Namun karena aku terdengar marah, Dadan dan Eman menghentikan perbuatan mereka berdua. Padahal maksudku agar Eman tidak terlalu kencang meremas kedua payudaraku. Namun kesempatan ini aku manfaatkan untuk membuka bajuku. Mata Dadan melihat tubuh bagian atasku yang hanya tertutup bra dengan tatapan nakal sehingga membuat jantungku semakin berdebar. Apalagi ketika aku dengan gaya menggoda mulai membuka bra hitam milikku, mata Dadan terlihat semakin membesar dan mulutnya terbuka lebar. “Kenapa Dan? Mau coba megang?” tanyaku tanpa rasa malu. “Me-memangnya dibere ku Te-teteh?” kata Dadan dengan tergagap-gagap. “Ya iyalah boleh…” kataku sedikit kesal karena Dadan masih saja bersikap lugu.


Subscribe to receive free email updates: